Seringkali orang merasa khawatir ketika menemukan dirinya berada dalam kekurangan, mungkin kita, termasuk aku sendiri pernah mengalami hal tersebut. Hal yang sangat wajar, bukan? Di sisi lain, ada pula orang yang merasa tidak tenang ketika menyadari dirinya berada dalam suatu kelebihan. Ia tidak tenang karena mengkhawatirkan anggapan orang lain terhadapnya, ia memikirkan apa yang harus dilakukannya di waktu sekarang dan yang akan datang. Sekali lagi, ini adalah hal yang wajar. Manusiawi.
Dari keduanya, kita bisa melihat, bahwa keadaan kurang dan berlebih merupakan keadaan yang sebenarnya tidak kita inginkan sebagai manusia yang ingin hidup tentram. Meskipun saat diberi kelebihan, sebenarnya itu bisa menjadi keadaan yang membuat kita merasa lebih aman daripada saat berkekurangan. Namun ini tidak mutlak, tergantung bagaimana orang tersebut menyikapinya. Bijakkah atau malah sebaliknya?
Maka dari itu, coba sebentar kita melirik dari sudut pandang yang lebih sederhana lagi.
Hanya satu kata, "Cukup". Merasa tidak terancam, tidak banyak pikiran, tidak ada khawatir, semuanya bisa kita dapatkan ketika diri ini berhasil memaknai kata "cukup" tersebut. Dalam hal ini, kita sedang berbicara mengenai harta.
Yang menarik lagi, dua kata sebelumnya yaitu Kurang dan Lebih ternyata bisa kita ubah menjadi Cukup. Bagaimana?
Dalam keadaan kurang, bagi orang yang lapang hatinya dan jernih pikirannya maka dengan kesabarannya ia akan mampu mengonversi kurang tadi menjadi sesuatu yang cukup baginya. Pun dengan sikap penerimaannya, ia bersyukur karena banyak di luar sana yang mungkin tidak lebih beruntung dari dirinya. Hal itu tak lantas membuat dia menyalahkan keadaan apalagi berprasangka buruk terhadap Ar Razaak.
Kemudian, dalam keadaan berlebih. Bagi orang yang bijaksana dan tidak menghambakan diri pada dunia, kelebihan harta yang ia punya maka bukanlah apa-apa baginya jika dibandingkan dengan nikmat lain yang telah Allah berikan kepadanya. Maka dengan keikhlasannya ia akan mampu menggunakan kelebihannya tersebut untuk membantu mencukupi kekurangan orang lain sebagai bentuk syukur kepadaNya, meskipun pada hakikatnya bukan kita yang mencukupi kehidupan orang lain, melainkan hanya Allah lah yang mampu melakukan itu. Atas kehendakNya, beberapa di antara kita diberi kepercayaan sebagai perantara saja.
Jika benar seseorang meyakini bahwa semuanya adalah titipan, maka akan ada keyakinan bahwa dari miliknya tersebut terdapat pula milik orang lain yang harus ia sampaikan. Apabila itu telah tertunaikan, maka tidak ada lagi beban pikiran tentang apa yang harus ia lakukan karena ia telah menemukan definisi cukup bagi dirinya sendiri.
"Bahagia", itulah sesuatu di balik kata "cukup". Sikap rela menerima dan selalu merasa cukup dengan hasil yang sudah diusahakan serta menjauhkan diri dari rasa tidak puas juga perasaan kurang, kita kenal sifat ini dengan Qana'ah. Karena sebenarnya kebahagiaan yang hakiki itu letaknya di dalam hati, hati yang bagaimana? Hati yang tenang; yang selalu mengingat Rabbnya. Bukankah itu yang kita butuhkan? Banyak sedikitnya harta harusnya tak lantas membuat seseorang jauh dari mengingat Rabbnya, melainkan ia gunakan itu untuk semakin bertaqarrub.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Alangkah beruntungnya orang yang mendapat hidayah kepada Islam, lalu dia mencukupkan diri dengan kehidupan yang sederhana serta bersikap qana'ah" (HR. Imam Ahmad)



No comments:
Post a Comment